Maraknya tontonan yang tidak menjadi tuntunan bagi anak didik, baik tingkat SMP/MTs ataupun SMA dapat mengakibatkan terbentuknya kepribadian yang kurang baik. Untuk mencegah hal tersebut, perlu adanya pelurusan pandangan terhadap pendidikan. Kebanyakan masyarakat berpandangan bahwa pendidikan itu semata-mata tanggung jawab sekolah saja, padahal waktu yang tersedia di sekolah tidak lebih dari enam sampai tujuh jam saja dari 24 jam waktu yang tersedia. Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Dalam pandangan Islam proses pendidikan itu berlangsung sejak masa kehamilan bahkan bisa pula sejak masa ‘perencanaan’. Ketika anak masih dalam kandungan, kedua orang tua berkewajiban memberikan nafkah yang halal dan baik, hal ini sesuai dengan perintah Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah ayat 168 yang artinya:
“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS.2:168).
Makanan yang dikonsumsi merupakan salah satu unsur pembentuk manusia, sehingga apabila unsur-unsur yang membentuknya haram (lihat QS. 4:59) seperti; mencuri, korupsi, menipu maka struktur tubuh sempurna secara pisik tetapi tidak secara rohani karena secara tidak langsung kita telah mendidik anak secara tidak benar.
“Pendidikan adalah usaha sadar manusia secara berencana yang ditujukan pada perbaikan perilaku manusia dalam seluruh aspek kepribadiannya, yang meliputi aspek pengetahuan (kognitif), emosi (afektif), kemauan (konatif), dan keterampilan. (psikomotorik).” (Lydia Harlina Martono, 2006:52).
Keempat asfek kepribadian tersebut, dapat dipoles dengan berbagai macam metode dalam setiap pembelajaran. Dalam pembelajaran bahasa, peserta didik mempelajari bahasa sebagai alat komunikasi, lebih daripada sekedar pengetahuan tentang bahasa. Pembelajaran bahasa, selain untuk meningkatkan keterampilan berbahasa dan bersastra, juga untuk meningkatkan kemampuan berpikir dan bernalar serta kemampuan memperluas wawasan. Selain itu, juga diarahkan untuk mempertajam perasaan siswa. Peserta didik tidak hanya diharapkan memahami informasi yang disampaikan secara lugas atau langsung, melainkan juga yang disampaikan secara terselubung atau secara tidak langsung. Anak didik tidak hanya sekedar pandai dalam bernalar, tetapi juga memiliki kepekaan di dalam interaksi sosial dan dapat menghargai perbedaan baik dalam kehidupan hubungan antarindividu maupun dalam kehidupan bermasyarakat.
CAMPUS SMP PLUS AL-AMANAH
SMP PLUS AL-AMANAH
Jumat, 19 Maret 2010
Kamis, 04 Maret 2010
Puisiku
Noktah Harapan!
Waktu berjalan sendirian.
hari pun acuh
masa menenggelamkan asa
kemanakah harapan kan kubawa?
noktah-noktah itupun datang mewarnai kehidupan
harapan tinggal harapan, bergelantungan menghiasi
masa.
akankah noktah ini pudar? kapankah?
hanya masa yang mampu berbicara.
kan kucoba menghapus noktah harapan.
untaian harapan kembali kutata.
tak takut masa yang tlah menguburnya.
harapan tak boleh hilang direnggut masa.
Waktu berjalan sendirian.
hari pun acuh
masa menenggelamkan asa
kemanakah harapan kan kubawa?
noktah-noktah itupun datang mewarnai kehidupan
harapan tinggal harapan, bergelantungan menghiasi
masa.
akankah noktah ini pudar? kapankah?
hanya masa yang mampu berbicara.
kan kucoba menghapus noktah harapan.
untaian harapan kembali kutata.
tak takut masa yang tlah menguburnya.
harapan tak boleh hilang direnggut masa.
UJIAN NASIONAL SIAPA TAKUT !
Ujian Nasional Dan Kondisi Psikis Siswa Ujian Nasional sudah di depan mata, berbagai tahapan persiapan UN pun digelar dimulai dari pengayaan/pemantapan, latihan Ujian Nasional (TO) diselenggarakan oleh berbagai lembaga, baik pemerintah, sekolah, atau bimbingan belajar.
|
Ujian Nasional, sepertinya masalah ini sudah basi atau tidak pentingkah? Karena saat ini kita tengah disibukkan oleh euforia Pilpres, dan sudah bisa dipastikan siapa pemenangnya. Tapi saat ini tidaklah saya ingin membahas masalah pilpres ini, bukan berarti tidak penting. Biar dan ijinkalah saya mengulas sedikit tentang dampak Ujian Nasional pada kondisi psikis anak atau siswa. Siapa peduli! Tapi biarlah karena ini hanyalah rasa empati saya yang begitu besar terhadap dunia pendidikan, sebab saya pernah menjadi seorang pendidik untuk beberapa tahun menangani langsung siswa yang akan menghadapi UN. Dulu namanya Ebtanas dan selalu berubah setiap era. Dalam hal ini yaitu mengenai kondisi psikis anak ketika menghadapi Ujian, apakah kita sebagai orangtua atau guru membantu mereka mengelola emosi, agar bisa bersikap tenang dalam menghadapi pertempuran atau kekalutan bernama Ujian Nasional ini. Adakah kita para orangtua maupun guru menciptakan suasana yang kondusif agar mereka siswa tersebut bisa menyikapi atau mempersiapkan mental dengan baik agar semangat menghadapinya(UN)? Tanyalah pada diri kita sendiri sebagai orangtua atau guru. Jangan-jangan malah kita menciptakan suasana yang tegang, sehingga belum saja menjalani UN, siswanya sudah nervous, tertekan, khawatir, takut tidak lulus dan banyak ketakutan-ketakutan lainnya. Otak dan pikiran mereka kita jejali dengan latihan-latihan soal, dalam pandangan mereka kita gambarkan bahwa meraih NEM atau nilai berdasarkan standart nasional berapa, (tanya saja pada mereka yang berkompeten), tertinggi adalah harga mati. Atau tinggal pilih mau lulus atau tidak, terserah yang penting kita bisa menjejali mereka bahasan-bahasan soal yang memusingkan kepala. Lagi-lagi siswa selalu jadi korban, mau protes apa ada yang menyikapi. Garis bawahi, jika siswa sudah duduk di kelas III, maka mereka akan dilatih untuk menjawab a,b,c dan d. Latihan soal ini dan soal itu, terkadang kurang di jam pelajaran, ditambah lagi dengan les, bahkan ada yang ikut bimbel. Waktu diisi hanya berpacu dengan soal dan soal, materi nomor kesekian, ilmu yang didapat siswa itu urusan nantilah. Jika siswa ada yang gagal maka mereka yang disalahkan, tapi kalau mereka dapat nilai bagus maka semua berbangga hati. Bukan berarti UN itu tidak penting, namun disini yang harus diperhatikan adalah kesiapan kondisi psikis anak atau siswa itu harus diperhatikan. Tidaklah harus main-main menghadapi UN tersebut. Kita sebagai orangtua atau guru haruslah mengkondisikan mental anak dengan baik., dampingi mereka. Karena mempersiapkan mental yang baik dalam menghadapi ujian itu penting. Kita tidak mesti menuntut anak secara berlebihan agar mereka jadi juara dengan tekanan-tekanan secara lisan. Harus dapat NEM tinggi atau harus dapat rangking terbaik atau harus-harus yang lainnya lagi. Persiapan untuk belajar saja anak atau siswa tersebut sudah capek lahir batin, apalagi dengan tuntutan-tuntutan kita yang terlalu over. Seolah-olah NEM tinggi itu adalah segala-galanya. Cukuplah sudah kita membebani mereka dengan jadwal-jadwal padat dalam menghadapi ujian. Belum lagi ditambah peraturan-peraturan yang sudah terpusat dalam mengatur tentang UN ini. Jangan ditambah lagi dengan hal remeh temeh yang dapat berakibat fatal, hingga siswa benar-benar gagal menempuh UN, hanya karena kondisi mental yang jatuh. Saya yakin kita, anda para orangtua dan pendidik yang berhubungan langsung dengan anak atau siswa dapat bersikap arif dan bijak menyikapi hal ini. Dan sebagai anak atau siswa, haruslah menghadapi ujian ini dengan penuh tanggungjawab, kesatria dan jujur. Marilah kita ciptakan suasana yang kondusif agar siswa dapat menghadapi dan menjalani ujian nasional ini dengan hati yang tenang dan senang. Mereka bahagia dan semangat menghadapi dan menjalaninya tanpa ada beban, dibarengi dengan doa dan usaha mereka yang maksimal, maka yakinlah kita akan melihat keberhasilan mereka. Tapi ingat ilmu atau materi itu penting ditransfer kepada siswa, tidak hanya mengutamakan latihan-latihan soal yang sifatnya temporal atau instan. Kasihan jika kita mencetak lulusan yang tak berilmu pengetahuan. Coba bayangkan “Andai Ujian Nasional, Seperti Sebuah Pesta,” maka siswa akan menyonsongnya dengan penuh kegembiraan, bahkan dengan semangat dan keriangan diwajah yang terus terpancar. |
Langganan:
Postingan (Atom)